Minggu, 05 Agustus 2012

Masjid Tiban Nurul Huda, Jejak Sejarah Islam di Pacitan

Pacitan - Masjid tiban di Desa Tanjungpuro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan merupakan salah satu bukti perkembangan Islam di Tanah 1001 Goa. Meski tidak ada catatan sejarah sebagai rujukan, namun berdasar cerita turun temurun, masjid yang kini bernama Nurul Huda merupakan peninggalan Sunan Geseng.

Tidak ada yang tahu pasti kapan persisnya ulama Kerajaan Mataram itu berdakwah di Ngadirojo dan membangun masjid. Namun, ditemukannya masjid tiban tidak lepas dari peran sesepuh setempat bernama Mbah Bandung. Tokoh itulah yang secara tiba-tiba menemukan masjid di tengah rawa lalu menyebutnya masjid tiban.

"Ada seorang ahli, namanya Ki Ageng Bandung mencari ternyata ditemukan sebuah masjid," tutur Ratno, Ketua Takmir kepada detiksurabaya.com, Minggu (5/8/2012).

Memang, jika dilihat dari luar tampilan masjid tiban Ngadirojo tak ubahnya masjid lain. Bangunan dengan panjang 20 meter dan lebar 8 meter itu sepenuhnya borcorak modern. Baik lantai, tembok maupun atapnya semua menampilkan citra masa kini. Pasalnya, masjid yang berada di tengah pemukiman tersebut sudah melewati 3 kali renovasi. Masing-masing tahun 1976, 1986 dan 1998.

Satu bagian yang tak pernah berubah adalah sisi tengah masjid. Bangunan utama berbentuk joglo yang ditopang 4 pilar itu hingga saat ini dibiarkan seperti sedia kala. Tiang kayu yang menyisakan bekas tatahan kasar tetap berdiri tegak tanpa dihaluskan.

Demikian pula dengan kayu berukir melintang yang melintang diatasnya. Keduanya hanya dipoles cat warna coklat.

Di dalam cungkup itulah, lanjut Ratno, tersimpan pakaian yang pernah dikenakan Sunan Geseng lengkap dengan seperangkat alat pertukangan yang digunakan membangun masjid. Benda wasiat yang tersimpan di dalam kotak itu diyakini memiliki kekuatan magis.

Lantaran takut terkena kutukan, tak satupun berani memindahkan atau merubah bangunannya. Diluar itu masih ada selaksa mitos lain yang begitu lekat di masyarakat.

"Saya pernah melihat bayangan orang dengan pakaian jubah serba hitam. Belum lagi suara-suara aneh yang sering muncul malam hari," ujar Nur Chalim, generasi ke-5 pemangku masjid.

Dibalik balutan kisah mistis yang menyertai keberadaan masjid tiban, tempat ibadah kuno itu tetap menjadi salah satu pilihan untuk mendekatkan diri dengan Sang Khalik, terutama di Bulan Suci Ramadan.

Tidak sedikit yang menyempatkan datang untuk beri'tikaf. Sebagian besar justru berasal dari sejumlah kota di luar provinsi maupun dari luar Jawa. Mereka biasanya berdatangan saat malam Jumat.

Seiring perkembangan zaman, masjid tiban bukan lagi sebatas sarana ibadah. Tempat itu sekaligus menjadi pusat kegiatan Islam bagi masyarakat sekitar. Tiap waktu shalat selalu dilaksanakan secara berjamaah. Demikian pula waktu senggang selepas shalat wajib diisi dengan kegiatan majelis taklim.

"Jangan sampai pemahaman terhadap kesakralan masjid tiban menggiring umat menuju kemusyrikan. Sebaliknya, upaya menghormati para pendahulu semestinya dilakukan dengan memakmurkan masjid melalui kegiatan amar ma’ruf nahi munkar," kata Ihsanuddinm ulama setempat ditemui detiksurabaya.com di teras masjid.

Keberadaan masjid tiban seolah menjadi simbol pemersatu diantara keragaman umat Islam yang beribadah di dalamnya. Semua diikat dalam satu nilai ketauhidan untuk mengagungkan kekuasaan Allah Subhanahu Wata'ala.


Sumber : http://surabaya.detik.com/read/2012/08/05/173719/1983621/475/masjid-tiban-nurul-huda-jejak-sejarah-islam-di-pacitan?y991101465