Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan
al Halabi al Atsari – hafizhahullah- di Masjid al Akbar Surabaya, 18
Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah tersebut
diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib, kemudian kami tulis kembali
dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya, tanpa mengurangi
substansi materi. Judul di atas adalah dari Redaksi. Semoga bermanfaat.
(Redaksi).
_________________________________________________________
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ مَنَارَ الأَرضِ,
لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah
melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat
orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat
orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama
(bid’ah).
TAKHRIJ HADITS
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allah man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]
SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allah yang terbesar dan anugerahNya yang paling agung,
yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang
hanya beribadah kepadaNya, dan yang hanya mengikuti NabiNya Shallallahu
‘alaihi was sallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al Qur`an dan
Sunnah.
Allah berfirman dalam al Qur`an :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan Kami turunkan kepadamu al Qur`an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [an Nahl : 44].
Al Qur`an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang
telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah,
bahwa aku telah diberi al Qur`an dan yang semisal dengannya”.
Al Qur`an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung
sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang
telah Dia firmankan :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى , إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى .
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur`an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). [an Najm : 3-4].
Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash
Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil bertanya : “Wahai, Rasulullah.
Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang
dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tulis semuanya, demi
Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah yang keluar dariku melainkan
haq (benar),” sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tafsir bagi
ayat-ayat yang global dalam al Qur`an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang
umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu
Allah Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam
Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda : “Aku
diutus dengan jawaami’ul kalim”. Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan
singkat, tetapi padat maknanya.
Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum
dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang
khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ
وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ مَنَارَ الأَرضِ, لَعََنَ اللهُ
مَن آوَى مُحدِثَا و
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah
melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat
orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat
orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama
(bid’ah).
Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang
berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan
sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mundur ke belakang,
maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat
yang maju di tengah umat-umat yang lain.
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak
sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi
keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah
mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang
lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta NabiNya Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau “Allah melaknat orang yang
menyembelih untuk selain Allah”. Bagaimana dia bisa mengarahkan
sembelihan kepada selain Allah? Sedangkan tindakan tersebut termasuk
ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang
dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik yang berupa
perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana
yang telah Allah Azza wa Jalla firmankan :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ(162)لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada
sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al
An'am : 162-163].
Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan
di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan
dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak
demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk
beribadah kepadaNya saja, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَا
أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ
اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka, dan Aku
tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah,
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
[adz Dzariyaat : 56-58].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengajarkan kepada
sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, apalagi kepada yang dewasa
tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam
akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu –sepupu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepadanya : “Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan
kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allah, maka pasti Allah
menjagamu. Jagalah Allah, pasti engkau akan mendapatiNya di hadapanmu.
Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon
pertolongan, mintalah kepada Allah”.
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah. Tidak ada yang
berhak dimintai pertolongan melainkan Allah. Tidak ada yang berhak
dijadikan sumpah melainkan Allah. Dan tidak ada yang berhak
diistighasahi, melainkan Allah. Tidak ada yang berhak diserahi
sesembelihan dan nadzar, melainkan Allah. Tidak boleh bernadzar kepada
Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun tinggi kedudukannya. Dengan ini,
(seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang yang melindungi muhditsan”.
Al muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama
(bid’ah) dan yang merubah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’
(mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ketika kita mengikrarkan
kalimat tauhid Laa ilaha illallah Muhammaddur Rasulullah. Maka, ucapan
ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta
konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar
huruf-huruf yang digandeng, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari
lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak
diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat
tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allah serta diutus para
rasul, melainkan karenanya.
Kalimat Laa ilaha illallahu, maknanya tidak ada yang berhak disembah
dengan benar, kecuali Allah. Dan kalimat Muhammadur Rasulullah, maknanya
tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasulullah. Sebaik-baiknya
perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jeleknya perkara
adalah apa yang beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah beliau
meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan
kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari sahabat Abu
Dzar al Ghifari Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata : “Tidaklah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, melainkan telah
dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di
udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya”.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang berhak diikuti,
melainkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah suri tauladan
yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allah
telah berfirman tentang beliau :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [al Ahzab : 21].
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan
petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali
sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah, yaitu
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (Tunjukilah kami jalan yang lurus),
adalah dengan mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah Allah firmankan
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا (Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu
mendapat petunjuk. –an Nuur : 54). Apabila kalian mengikuti Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kalian akan mendapat hidayah yang
selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari.
Inilah hak Allah, dan inilah hak RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta hak agamaNya. Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak
ini?
Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain.
Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Allah melaknat orang yang
mencela kedua orang tuanya”. Ini adalah kewajibanmu dan anda mesti
menjadi pemeliharanya dengan baik. Yaitu engkau berbakti kepada
keduanya, mendoakan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak
meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang
tuamu.
Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh
anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena
mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat
disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).
Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat
sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Termasuk dosa besar
adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,” para sahabat
bertanya,”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?”
maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Dia mencaci-maki
ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”.
Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala
pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat
suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi
amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh
sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang
bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita
melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat
sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah
dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu [2]. Mereka melakukan
dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan
lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir
menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka.
Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika melarang kita mencaci-maki orang tua, sebuah
tindakan yang termasuk dosa, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih
dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut
mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar. Jika kita
melaksanakan ketaatan kepada mereka maka ini termasuk menjaga hak jiwa
pribadi (nafs) . Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka
akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman : [وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا] Artinya : “Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isra’ : 23).
Di dalam ayat ini Allah menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang
tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat
unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak.
Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang
berkaitan dengan hak orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu : (1). Hak Allah (2). Hak
Nabi (3). Hak nafs (4). Hak orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah
orang lain” maksudnya dia melanggar hak (tanah) orang lain baik itu
tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya.
Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele,
niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah
orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan
terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan
hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau
kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas
namanya ?
Renungilah sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam : [إِنَّ أربَى
الرِبَا استِطَالَة الرَجُلِ فِي عِرضِ أَخِيهِ المُسلِم] Artinya : “Dosa
riba yang paling besar adalah seseorang melanggar kehormatan saudaranya
muslim” yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk
sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain.
Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan
termasuk dosa besar.
Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Satu dirham (hasil) riba yang dimakan
oleh seseorang yang tahu (hukum-nya-pent) lebih besar dosanya di sisi
Allah dari pada 36 kedustaan” Apabila ini tingkat paling rendah akibat
harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua
dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang
jauh. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpesan kepada Mu’adz
bin Jabal, beliau bersabda : “Dan pergauli manusia dengan akhlak yang
baik”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan (pergaulilah)
orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau
orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan
(pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau
kafir, shaleh atau tholeh. Karena dengan akhlakmu disertai pemeliharaan
terhadap hakmu dan hak orang lain, engkau dapat mengambil hati mereka
sehingga engkau bisa menyerunya (kepada kebenaran).