Konon, Hashyashyin ini merupakan "guru"
dari Knights Templar yang dibentuk oleh Ordo Sion di tahun 1118
Masehi. Keduanya-Hashyashyin maupun Templar-memiliki banyak kemiripan.
Mulai dari struktur organisasi, pembangkangan terhadap agama (bid'ah)
dan bahkan dianggap agnostik (tidak meyakini agama apapun kecuali
doktrin pemimpinnya), kepandaiannya dalam berperang, membunuh, serta
keterampilan dalam hal pengunaan racun, serta adanya ritual-ritual
khusus yang penuh dengan warna mistis-paganistik.
Bahkan banyak penulis sejarawan modern
menganggap Sekte Syiah Qaramithah-asal muasal gerakan Assassins-sebagai
kelompok Bolsyewisme-Islam atau cenderung komunistis. Pendiri sekte
ini bernama Hamdan al-Qarmath, seorang Irak yang gemar pada ilmu-ilmu
perbintangan dan kebatinan, mirip dengan pengikut Kabbalah (Hitti,
History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present, 2002).
Templar sendiri sesungguhnya pengikut Kabbalah, walau mereka mengaku sebagai pemeluk Kristen pada awalnya.
Sebab itu, banyak sejarawan Barat yang
menuding di antara kedua sekte khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya
terjalin satu kerjasama dalam bentuk yang tersembunyi. Salah satu yang
memunculkan dugaan ini adalah Prof. Carole Hillenbrand, Guu Besar Studi
Islam dan Bahasa Arab University Edinburgh, Skotlandia. Skotlandia
sendiri dikenal sebagai wilayah basis dari Freemasonry yang lahir di
darah ini selepas penumpasan Templar oleh Raja Perancis, King Philipe
le Bel, yang dibantu Paus Clement V di tahun 1307 M.
Profesor Hillenbrand dalam bukunya "The
Crusade, Islamic Perspective" (1999) menulis bahwa setahun sebelum
pasukan salib gelombang pertama yang dikomandani Godfroi de Bouillon
tiba di pintu Yerusalem di tahun 1099 dan merebutnya, Yerusalem
diserang oleh pasukan dari Dinasti Fathimiyah-Syiah yang berpusat di
Mesir dan merebutnya dari tangan kekuasaan Dinasti Abbasiyyah yang
beraliran Sunni.
Jadi, ketika pasukannya Godfroi tiba di
pintu kota Yerusalem, kota suci itu sebenarnya telah berada di bawah
kekuasaan Bani Fathimiyah.
Atas kejadian ini, Hillebrand
mempertanyakan tidak adanya catatan khusus dari para sejarawan Muslim.
"Serangan tiba-tiba yang dilakukan al-Afdhal (Wazir dari Dinasti
Fathimiyah Mesir) ke Yerusalem, dengan waktu yang amat tepat,
memerlukan penjelasan yang belum diberikan para sarjana Islam. Mengapa
al-Afdhal melakukan serangan ini? Apakah karena ia telah tahu lebih
dulu soal rencana para Tentara Salib? Bila demikian, apakah ia merebut
Yerusalem untuk kepentingan Tentara Salib, yang sebelumnya telah
menjalin aliansi dengannya?" tulis Hillebrand.
Salah satu hipotesis yang dikemukakan
peraih The King Faisal International Prize for Islamic Studies ini
adalah, bahwa pasukannya al-Afdhal telah dikhianati oleh Godfroi de
Bouillon, karena sesungguhnya Kaisar Byzantium-Kristen Timur yang
bertentangan secara ideologi dengan Kristen Barat yang mengirimkan
Tentara Salib-telah memberitahu al-Afdhal bahwa pasukan Salib Kristen
Barat akan segera tiba di Yerusalem. Pemberitahuan ini diberikan Kaisar
Byzantium tidak lama berselang setelah Konsili Clermont usai.
Bisa jadi, demikian Hillebrand,
al-Afdhal menginvasi Yerusalem agar Godfroi menahan pasukannya dan bisa
berbagi kekuasaan, karena al-Afdhal mengira Tentara Salib atau ‘Bangsa
Frank' menurut Hillenbrand bisa dijadikan sekutu yang baik menghadapi
Muslim Sunni.
Namun yang terjadi tidak demikian.
"Tentara Salib hendak menguasai Yerusalem untuk dirinya sendiri, "
tulisnya. Lantas di mana peranan Assassins dalam hal ini?
Peran Tersembunyi Assassins
Menjelang Perang Salib pertama, dunia
Barat dan Timur masing-masing mengalami perpecahan (schisma) yang
hebat. Dunia Barat setidaknya menjadi dua kekuatan besar: Kristen Timur
yang berpusat di Byzantium dan Kristen Barat yang berpusat di Roma.
Secara diam-diam, Sekte Gereja Yohanit yang sesungguhnya
agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan menyusun kekuatannya.
Di sisi lain Dunia Islam juga terbagi
menjadi dua kekuatan besar yang juga saling memusuhi yakni Kekhalifahan
Abbasiyah yang sunni dan Kekhalifahan Fathimiyah yang syiah yang
berpusat di Mesir.
Carole Hillenbrand menulis, "Dalam
kurun waktu kurang dari dua tahun, sejak 1092 M, terjadi rentetan
pembersihan semua pemimpin politik terkemuka Dunia Islam dari Mesir
hingga ke timur. Tahun 1092, seorang menteri terkemuka Dinasti Seljuk
sunni bernama Nizam al-Mulk terbunuh (belakangan diketahui
Assassins-lah yang melakukan itu). "
Tiga bulan kemudian, Sultan Maliksyah,
sultan ketiga Seljuk yang telah berkuasa dengan gemilang selama
duapuluh tahun juga meninggal dengan sebab-sebab yang mencurigakan.
Kuat dugaan ia juga telah diracun Assassins. Tak lama kemudian,
permaisuri dan cucu-cucunya pun meninggal dengan cara yang tak lazim.
Para sejarawan Islam memandang tahun 1092 M sebagai "Tahun Kematian".
Apalagi dengan peristiwa meninggalnya
Khalifah Fathimiyah Syiah di Mesir, al-Muntanshir, musuh besar Seljuk,
yang juga terjadi pada tahun itu. Dua tahun kemudian, 1094, Khalifah
Abbasiyah alMuqtadhi juga meninggal.
Rentetan perubahan yang berjalan amat
cepat ini oleh Hillenbrand disamakan dengan terjadinya Perestroika di
Uni Soviet yang mengakibatkan kehancuran dan perpecahan. Berbagai sekte
dan negara kecil-kecil memisahkan diri dan menjadi kekuatannya
masing-masing. Dunia Islam menjelang Konsili Clermont di tahun 1096
sudah berubah menjadi dunia yang penuh kekacauan dan anarki.
Hillenbrand mengajukan pertanyaan:
"Momentum ini bagi pasukan Salib sungguh menguntungkan. Apakah saat itu
pasukan Salib telah diberitahu bahwa saat itu merupakan momentum yang
sangat bagus untuk menyerang Yerusalem?"
Jika di balik, pertanyaan Hillenbrand
sebenarnya bisa lebih menukik, seperti: "Adakah kekacauan di Dunia
Islam ini telah diatur? Assassins bertugas menimbulkan perpecahan di
kalangan Islam dengan melakukan serangkaian pembunuhan di berbagai
dinasti Islam yang kuat, dan di lain sisi Ordo Yohanit (Peter The
Hermit dan Godfroi de Bouillon sebagai dua tokohnya) di saat yang sama
menyusup ke Vatikan dan memprovokasi Paus agar mengobarkan Perang Salib
untuk merebut Yerusalem.
Apalagi sejarah mencatat bahwa hanya
setahun sebelum pasukan Salib tiba di depan gerbang Yerusalem, kota
suci itu telah jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Adakah ini merupakan
persekongkolan antara Assassins dengan Ordo Yohanit di mana keduanya
memang diketahui cenderung kepada ilmu-ilmu ramalan, perbintangan,
sihir, dan sebagainya yang menjurus pada ajaran Kabbalah.
Dengan kata lain, adalah semua kejadian
besar itu merupakan hasil konspirasi yang dilakukan Ordo Kabbalah
dengan pembagian kerja: Assassins bekerja di Dunia Islam, sedangkan
Yohanit (Ordo Sion dan kemudian Templar) bekerja di Dunia Kristen?
Bukan rahasia umum lagi bila Assassins
dan Templar di kemudian hari benar-benar melakukan kerjasama. Templar
sering mengorder Assassins untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Salah
satu korban dari Assassins adalah Richard The Lion Heart. Salahuddin
al-Ayyubi sendiri pernah menerima terror dari Assassins.
Suatu pagi, Salahuddin terbangun dari
tidur di dalam tendanya dan menemukan sepotong kue yang telah diracun
di atas dadanya dengan tulisan, "Anda berada dalam kekuasaan kami. "
Sejak itu Salahudin makin yakin bahwa dia tidak bisa meremehkan
Assassins. Dan hal ini terbukti kemudian, setelah membebaskan
Yerusalem, Salahudin terus melakukan pembebasan hingga ke Benteng
Alamut, markas besar Assassins di Persia, sebelum akhirnya ke Mesir
untuk melakukan pembersihan terhadap sekte Syiah.
Di tulisan kedua akan diulas tentang siapa sebenarnya Assassins ini.
Kesaksian Macopolo, pelaut legendaris dari Venesia yang pernah
berkunjung ke Benteng Alamut di tahun 1271-1272, menjadi salah satu
catatan berharga dalam hal ini.Sebutan Hashyashyin atau dalam lidah orang Barat "Assassins" berasal dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini pada tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di dalamnya, di wilayah Persia.
Dalam catatannya tentang Benteng Alamut
dan aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan
oleh Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut Italia ini menulis:
"...Beberapa pemuda yang berumur
duabelas hingga duapuluh tahun yang memiliki semangat tarung yang
tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah
benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau
sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu
yang membuat mereka mabuk berat atu tertidur pulas. Baru setelah itu
mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.
Ketika bangun, para pemuda itu mendaati
dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi
para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para
gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda
tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan.
Para pemuda itu menyangka mereka sedang
berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan
tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka
mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya.
"Surga" yang sangat indah telah
menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. "Saat kau
kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau
mati, kau pun akan pergi juga ke surga, " ujarnya.
Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
Old Man of the Mountain
Freya
Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran Perancis-Italia,
ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di Bagdad, Irak,
banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang menguasai
bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun 1930-1931
mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan
perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat
kekuasaan kaum Assassins ini.
Stark
membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut dan catatan
perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik berjudul "The
Valley of the Assassins".
Dalam
bukunya, Stark menulis tentang latar belakang dan perkembangan
kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada literatur-literatur tertua
dalam Dunia Islam.
"Assassins
itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari aliran Syiah Ismailiyah, yang
memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, beserta Imam-Imam
turunan dari garis Ali, " demikian Stark (hal. 159).
Aliran
Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal Imam
ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah dan pengikut
Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins tidak
mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Pandangan ‘keagamaan'
Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune (pada abad ke-20
dikenal sebagai paham Komunisme)-penyamarataan sosial. Bahkan di dalam
beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus yang
kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di
dalam Taman Alamut yang nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula
atau Nero di zaman Romawi.
Tulisan
Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou'yb dalam ‘Sejarah Daulat Abasiah'
Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan, "Kelompok Assassins
dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila perang.
Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan
secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan
suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan,
melalui beberapa tahap (marhalah), menusukkan kesangsian-kesangsian
terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota menjadi seseorang yang
mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap bebas pula (liberal). "
(hal. 61)
Paparan
Stark di atas merupakan alat utama pengrusakkan agama-agama samawi
yang dilakukan oleh kaum Kabbalis. Seperti yang telah diulas dalam
banyak sekali literatur, ketiga agama samawi yang dirusak oleh kaum
Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Ke
dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan
ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas
kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah Tuhan
kepada Nabi Musa yang tidak tercatat' (seperti halnya Hadits Qudsi di
dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang benar
berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud. Kitab
Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi' ketimbang
Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai Allah SWT.
Ke
dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang Yahudi-Talmudian
bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak pernah bertemu
dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda, membuat Kitab
Perjanjian Baru, yang disebutkan sebagai penggenapan Bibel Perjanjian
Lama (Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya Taurat
Musa-disisipkan ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk kita menemukan
mana yang asli dan mana yang tidak.
Lalu
ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan seorang Yahudi juga
yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin Saba.
Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub
besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW
masih hidup.
Sesuatu
yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga Persia tersebut
memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir
sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran
Kabbalah.
Salah
satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa kekuasaan para
Firaun, yang berkuasa ditopang oleh "Dua Kaki" yakni Militer dan
Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang
meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir
Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa a. S dan
menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk
memalingkan kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur'an mencatat orang yang
disusupkan itu bernama Samiri.
Di
Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini dan menguasai
posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang berasal dari
kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di
Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte Assassins
dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok
tersebut (The First Grandmaster of the Assassins).
Kharisma
dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai yang amat disegani.
Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya sendiri, melaksanakan
pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen secara
sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.
"Ia
menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam dunia
politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus
darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik berasaskan
sumpah, " tulis Sou'yb. Dan tentu saja, proyek-proyek pembunuhan
diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya telah
menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun menangguk
keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.
The Secret Garden atau Taman Rahasia yang terletak di tengah Benteng
Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi para anggota baru yang
kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang dilakukan Assassins di
Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para Templar di
Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta
seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.
Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya.
Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.
Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai.
Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut.
Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan kaum Salib Eropa.
Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi
Selain Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan Hospitaller-nya, pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus menghadapi kelompok Assassins. Shalahuddin tidak bisa melupakan bagaimana Assassins pernah mengancam dirinya dengan menaruh kue beracun di atas dadanya saat dia tengah tertidur.
Sebab itu, setelah membebaskan Yerusalem dengan mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin tidak berhenti. Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara, membebaskan daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng Alamut.
Pasca serangan yang dilakukan pasukannya Shalahuddin, kemudian pasukannya Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah, utamanya Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok ini tidak lagi terdengar dan istilah “Asassins” telah mengalami perubahan makna menjadi “Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya pop, istilah ini diangkat ke dalam novel-novel dan layar perak.
Dalam kancah konflik di dunia Arab, anak-keturunan kelompok ini dikenal sebagai kaum Druze, suatu kelompok pro-komunis di Lebanon dan Suriah. Namun beberapa kelompok kecil masih bertahan hingga kini di sekitar wilayah tersebut.
Sampai hari ini, sejarawan masih bersilang pendapat soal hubungan antara Sekte Assassins dengan Ksatria Templar (dan Ordo Sion tentunya). Carolle Hillebrand dalam karyanya yang mendapat penghargaan dari King Faisal termasuk yang percaya bahwa di bawah permukaan, di masa sebelum dan sesudah Perang Salib, antara kedua kelompok ini sebenarnya terdapat kerjasama yang unik.
Keduanya memiliki kemiripan di dalam memahami kitab suci agamanya masing-masing. Baik Templar maupun Assassins dituduh telah melakukan heresy atau bid’ah, karena keduanya memahami kitab sucinya lebih dari sekadar apa yang tertulis dan meyakini ada pesan-pesan tidak tertulis di dalam teks-teksnya. Kalangan sejarawan menyebut mereka berdua sebagai kelompok esoteris. Sebab itu, ritual-ritual keagamaan keduanya pun mirip. Wallahu’alam bishawab. (last/eramuslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar