Setiap pohon yang tidak berbuah, seperti pohon pinus dan pohon
cemara, tumbuh tinggi dan lurus, mengangkat kepalanya ke atas, dan semua
cabangnya mengarah ke atas. Sedangkan semua pohonnya yang berbuah
menundukkan kepala mereka, dan cabang-cabang mereka mengembang ke
samping.
Rasulullah adalah orang yang paling rendah hati, meskipun dia
memiliki segala kebajikan dan keutamaan orang-orang dahulu kala dan
orang-orang sekarang, dia seperti sebuah pohon yang berbuah. Menurut
sebuah riwayat, beliau bersabda, “Aku diperintahkan untuk menunjukkan
perhatian kepada semua manusia, untuk bersikap baik hati kepada mereka.
Tidak ada Nabi yang sedemikian diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh
manusia selain aku.”
Kita tahu bahwa beliau dilukai kepalanya, ditanggalkan giginya,
lututnya berdarah karena lemparan batu, tubuhnya dilumuri kotoran,
rumahnya dilempari kotoran ternak. Beliau di hina, dan di siksa dengan
keji.
Saat beliau berdakwah di Thaif, tak ada yang didapatkannya kecuali
hinaan dan pengusiran yang keji. Ketika Rasulullah menyadari usaha
dakwahnya itu tidak berhasil, beliau memutuskan untuk meninggalkan
Thaif. Tetapi penduduk Thaif tidak membiarkan beliau keluar dengan aman,
mereka terus mengganggunya dengan melempari batu dan kata-kata penuh
ejekan. Lemparan batu yang mengenai Nabi demikian hebat, sehingga tubuh
beliau berlumuran darah.
Dalam perjalanan pulang, Rasulullah Saw. menjumpai suatu tempat yang
dirasa aman dari gangguan orang-orang jahat tersebut. Di sana beliau
berdoa begitu mengharukan dan menyayat hati. Demikian sedihnya doa yang
dipanjatkan Nabi, sehingga Allah mengutus malaikat Jibril untuk
menemuinya. Setibanya di hadapan Nabi, Jibril memberi salam seraya
berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu dan orang-orang
ini. Allah telah memerintahkan malaikat di gunung-gunung untuk menaati
perintahmu.” Sambil berkata demikian, Jibril memperlihatkan para
malaikat itu kepada Rasulullah Saw.
Kata malaikat itu, “Wahai Rasulullah, kami siap untuk menjalankan
perintah tuan. Jika tuan mau, kami sanggup menjadikan gunung di sekitar
kota itu berbenturan, sehingga penduduk yang ada di kedua belah gunung
ini akan mati tertindih. Atau apa saja hukuman yang engkau inginkan,
kami siap melaksanakannya.”
Mendengar tawaran malaikat, Rasulullah Saw. Dengan penuh kasih sayang berkata, “Walaupun
mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah,
keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan
beribadah kepada-Nya.”
Ketika Makkah berhasil ditaklukkan, beliau berkata kepada orang-orang
yang pernah menyiksanya, “Bagaimanakah menurut kalian, apakah yang akan
kulakukan terhadapmu?” Mereka menangis dan berkata, “Engkau adalah
saudara yang mulia, putra saudara yang mulia.” Nabi Saw. bersabda,
“Pergilah kalian! Kalian adalah orang-orang yang dibebaskan. Semoga
Allah mengampuni kalian.” (HR. Thabari, Baihaqi, Ibnu Hibban, dan
Syafi’i).
Abu Sufyan bin Harits, sepupu beliau, lari dengan membawa semua
anak-anaknya karena pernah menyakiti Rasul Saw., maka Ali bin Abi Thalib
Ra. bertanya kepadanya, “Hai Abu Sufyan, hendak pergi kemanakah kamu?”
Ia menjawab, “Aku akan keluar ke padang sahara. Biarlah aku dan
anak-anakku mati karena lapar, haus, dan tidak berpakaian.”
Ali bertanya, “Mengapa kamu lakukan itu?” Ia menjawab, “Jika Muhammad
menangkapku, niscaya dia akan mencincangku dengan pedang menjadi
potongan-potongan kecil.” Ali berkata, “Kembalilah kamu kepadanya dan
ucapkan salam kepadanya dengan mengakui kenabiannya dan katakanlah
kepadanya sebagaimana yang pernah dikatakan oleh saudara-saudara Yusuf
kepada Yusuf, ….Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu
atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah
(berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91).
Abu Sufyan pun kembali kepada Nabi Saw. dan berdiri di dekat
kepalanya, lalu mengucapkan salam kepada beliau seraya berkata, Wahai
Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan engkau atas
kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).
(QS. Yusuf [12]: 91).
Rasulullah Saw. pun menengadahkan pandangannya, sedang air matanya
membasahi pipinya yang indah hingga membasahi jenggotnya. Rasulullah
menjawab dengan menyitir firman-Nya, …Pada hari ini tidak ada cercaan
terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu) dan Dia adalah Maha
Penyayang di antara para penyayang. (QS. Yusuf [12]: 92).
Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud bahwa
Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Bacakan al-Quran kepadaku.” Ibnu
Mas’ud berkata, “Bagaimana aku membacakannya kepada Engkau, sementara
al-Quran itu sendiri diturunkan kepada Engkau?”
“Aku ingin mendengarnya dari orang lain,” jawab beliau. Lalu Ibnu
Mas’ud membaca surat an-Nisa hingga firman-Nya, Maka bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan kamu (Muhammad)
sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS. an-Nisâ [4]: 41).
Begitu bacaan tiba pada ayat ini, beliau bersabda, “Cukup.”
Ibnu Mas’ud melihat ke arah beliau, dan terlihatlah olehnya bahwa beliau sedang menangis.
Dalam kisah ini kita memperoleh pelajaran berharga, bahwa Rasulullah
Saw. sangat mencintai umat manusia. Beliau sangat mengharapkan agar
orang-orang kafir itu beriman. Karena balasan kekafiran adalah neraka
yang menyala-nyala. Rasulullah sendiri pernah melihat neraka. Dia
melihat sungguh mengerikan neraka itu. Hingga ketika menyadari hal itu,
mengalirlah airmatanya dengan deras.
Abu Dzar Ra. meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau mendirikan
shalat malam, sambil menangis dengan membaca satu ayat yang
diulang-ulangi, yaitu, Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba Engkau juga. (QS. al-Maidah [5]: 118).
Dan diriwayatkan saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama
kali dibangkitkan. Yang diucapkannya pertama kali adalah, “Mana umatku?
Mana umatku? Mana umatku?” Beliau ingin masuk surga bersama-sama
umatnya. Beliau kucurkan syafaat kepada umatnya sebagai tanda kecintaan
beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, Allahumma salimna
ummati. Ya Allah selamatkan umatku.
Keadaan diri Nabi Muhammad Saw. digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya, Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. at-Taubah [9]: 129).
Alangkah buruknya akhlak kita bila tak mencintai Nabi, sebagaimana
Nabi mencintai kita, berkorban untuk kita, dan meneteskan airmatanya
untuk kita. Di sini, apakah kita hanya berdiam diri saat Nabi dihina,
seolah kita bukan lagi umatnya. Apakah kita rela Nabi berdakwah seorang
diri dan kemudian dilempari batu hingga berdarah-darah, sementara
umatnya yang begitu banyak hanya bisa berdiam diri? Tangisan sang Nabi
hendaknya menjadi pengingat kita, untuk lebih mencintainya, membelanya,
bahkan berkorban nyawa untuknya, sebagaimana ia telah berkorban nyawa
untuk kita agar kita selamat dari siksa neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar