Di era materialisme dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan
dari tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai
kehidupan manusia. Fenomena ketidakjujuran benar-benar telah menjadi
realitas sosial yang menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah
berlangsung sedemikian transparan dan telah menjadi semacam rahasia
umum yang merasuk ke berbagai wilayah kehidupan manusia. Sosok manusia
jujur telah menjadi makhluk langka di bumi ini. Kita lebih mudah mencari
orang-orang pintar daripada orang-orang jujur. Keserakahan dan
ketamakan kepada materi kebendaan, mengakibatkan manusia semakin jauh
dari nilai-nilai kejujuran dan terhempas dalam kubangan materialisme dan
hedonisme yang cendrung menghalalkan segala cara.
Pada masa sekarang, banyak manusia tidak mempedulikan jalan-jalan yang halal dan haram dalam mencari uang dan jabatan. Sehingga kita sering mendengar ungkapan-ungkapan kaum materialis, “mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Bahkan selalu diucapkan orang, ”kalau jujur akan terbujur”, ”kalau lurus akan kurus”, “kalau ihklas akan tergilas”.
Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan bahwa manusia zaman kini telah
dilanda penyakit mental yang luar biasa, yaitu penyakit korup dan
ketidakjujuran.
Nabi Muhammad SAW pernah memprediksi, bahwa
suatu saat nanti, diakhir zaman, manusia dalam mencari harta tidak
mempedulikan lagi mana yang halal dan mana yang haram. (HR Muslim).
Ungkapan Nabi pada masa kini telah menjadi
realitas sosial yang sangat mengerikan, bahkan implikasinya telah
menjadi patologi sosial yang parah, seperti menjamurnya korupsi, pungli,
risywah (suap), sogok, uang pelicin dsb. Banyak kita temukan
pencuri-pencuri berdasi melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam
mengelola proyek. Manusia berlomba-lomba mengejar kekayaan dan kemewahan
dunia secara massif, tanpa mempedulikan garisan-garisan syariah dan moralitas.
Era reformasi yang telah berlangsung lebih lebih sepuluh tahun,
praktek kolusi,korupsi dan suap menyuap masih saja menjadi kebiasaan
masyarakat kita. Untuk mengatasi dan mengurangi segala destruktip
tersebut, puasa merupakan ibadah yang paling ampuh dan efektif, asalkan
pelaksanaan puasa tersebut dilakukan dengan dasar iman yang mantap
kepada Allah, dan ihtisab (mawas diri), serta penghayatan yang mendalam tentang hikmat yang terkandung di dalam puasa Ramadhan.
Puasa melatih kejujuran
Berbeda dengan sifat ibadah yang ada, puasa adalah ibadah sirriyah
(rahasia). Dikatakan sirriyah, karena yang mengetahui seseorang itu
berpuasa atau tidak, hanyalah orang yang berpuasa itu sendiri dan Allah SWT.
Dalam ibadah puasa, kita dilatih dan dituntut untuk berlaku jujur.
Kita dapat saja makan dan minum seenaknya di tempat sunyi yang tidak
terlihat seorangpun. Namun kita tidak akan mau makan atau minum, karena
kita sedang berpuasa. Padahal, tidak ada orang lain yang tahu apakah
kita puasa atau tidak. Namun kita yakin, perbuatan kita itu dilihat Allah.
Orang yang sedang berpuasa juga dapat dengan leluasa berkumur sambil
menahan setetes air segar ke dalam kerongkongan, tanpa sedikitpun
diketahui orang lain. Perbuatan orang itu hanya diketahui oleh orang
yang bersangkutan. Hanya Allah dan diri si shaim
itu saja yang benar-benar mengetahui kejujuran atau kecurangan dalam
menjalankan ibadah puasa. Tetapi dengan ibadah puasa, kita tidak berani
berbuat seperti itu, takut puasa batal.
Orang yang berpuasa dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan. Ia
dilatih untuk menyadari bahwa segala aktifitasnya pasti diketahui dan
diawasi oleh Allah SWT. Apabila kesadaran ketuhanan ini telah menjelma dalam diri seseorang melalui training dan didikan puasa, maka Insya Allah
akan terbangun sifat kejujuran.Jika manusia jujur telah lahir, dan
menempati setiap sektor dan instansi, lembaga bisnis atau lembaga apa
saja, maka tidak ada lagi korupsi, pungli, suap-menyuap dan
penyimpangan-penyimpangan moral lainnya.
Kejujuran merupakan mozaik yang sangat mahal harganya. Bila pada diri
seorang manusia telah melekat sifat kejujuran, maka semua pekerjaan dan
kepercayaan yang diamanahkan kepadanya dapat di selesaikan dengan baik
dan terhindar dari penyelewengan-penyelewengan. Kejujuran juga menjamin
tegaknya keadilan dan kebenaran.
Secara psikologis, kejujuran mendatangkan ketentraman jiwa.
Sebaliknya, seorang yang tidak jujur akan tega menutup-nutupi kebenaran
dan tega melakukan kezalim-an terhadap hak orang lain.
Ketidakjujuran selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya
mengancam stabilitas sosial. Ketidak jujuran selalu berimplikasi kepada
ketidakadilan. Sebab orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak
keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya.
Berlaku jujur, sungguh menjadi bermakna pada masa sekarang, masa yang
penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Pentingnya kejujuran telah
banyak disapaikan Rasulullah SAW. Diriwayatkat bahwa, Rasulullah pernah didatangi oleh seorang pezina yang ingin taubat dengan sebenarnya. Rasulullah menerimanya dengan satu syarat, yaitu,agar orang tersebut berlaku jujur dan tidak bohong
Syarat yang kelihatan sangat ringan untuk sebuah pertaubatan besar,
tetapi penerapannya dalam segala aspek kehidupan sangat berat. Dan
ternyata syarat jujur tersebut sangat ampuh untuk menghentikan perbuatan
zina. Jika ia tetap berzina secara sembunyi-sembunyi, lalu bagaimana ia harus menjawab jika Rasulullah menanyainya tentang apakah ia masih berzina atau tidak. Untuk menghindari berbohong kepada Nabi, maka si pezina mengakhiri prilakunya yang dusta itu dan kemudian benar-benar bertaubat nasuha dengan penuh penghayatan.
Dari riwayat itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa kejujuran sangat
signifikan dalam membersihkan prilaku menyimpang, seperti korupsi,
kolusi, penipuan, manipulasi, suap-menyuap dan sebagainya.
Dewasa ini kesadaran untuk menumbuhkan sifat kejujuran sebagai buah
dari ibadah puasa, kiranya perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan
kejujuran yang melekat pada ibadah puasa, perlu dikembangkan sebagai
bagian dari kehidupan riel dalam masyarakat. Sebab apabila kejujuran
telah disingkirkan, maka kondisi masyarakat akan runyam. Korupsi dan
kolusi terjadi di mana-mana, pungli merajalela, kemungkaran sengaja
dibeking oleh oknum-oknum tertentu demi mendapatkan setoran uang.
Fenomena kebohongan dan tersingkirnya sifat kejujuran, mengantarkan
masyarakat dan bangsa kita pada beberapa musibah nasional yang
berlangsung secara beruntun dan silih berganti tiada henti. Terjadinya
malapetaka berupa krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia adalah
cermin paling jelas dari makin hilangnya sukma kejujuran dan semakin
mekarnya kepalsuan dalam kehidupan bangsa kita.
Dalam menghadapi kasus-kasus yang gawat seperti itu, pesan-pesan
profetik keagamaan seperti pesan luhur ibadah puasa dapat
ditransformasikan untuk membongkar sangkar kepalsuan dan membangun
kejujuran.
Ada yang secara pesimis berpendapat, bahwa membangun kejujuran pada
era materialisme adalah suatu utopia (angan-angan) mengingat mengakarnya
sifat ketidak jujuran dalam masyarakat dan bangsa kita. Sebagai orang
beriman yang menyandang peringkat khairah ummah, sikap pesimis di atas harus dibuang jauh-jauh. Sebab gerakan amar ma’ruf nahi mungkar yang dilandasi iman, harus tetap dilancarkan, agar konstelasi dunia ini tidak semakin parah.
Realitas menunjukkan, bahwa kesemarakan Ramadhan dari tahun
ke tahun semakin meningkat, namun ironisnya, bersamaan dengan itu
penyimpangan dan ketidakjujuran masih berjalan terus. Padahal, suatu
bulan kita dilatih dan didik untuk berlaku jujur, menjadi orang yang
dapat dipercaya. Bila selama satu bulan itu, orang-orang yang berpuasa
benar-benar berlatih secara serius dengan penuh penghayatan terhadap
hikmah puasa, maka pancaran kejujuran akan terpantul dari dalam jiwa
mereka. Kalau puasa Ramadhan yang dilakukan tidak melahirkan
manusia-manusia jujur, berarti kualitas puasa orang tersebut masih
sebatas lapar dan dahaga. Karena puasa yang dilakukan tidak memantulkan
refleksi kejujuran. Kalau orang yang berpuasa, masih mau menerima suap
dari orang-orang yang mencari pekerjaan, berarti kualitas ibadah orang
tersebut masih sangat rendah. Kalau orang yang berpuasa, masih mau
melakukan mark-up dalam proyek, korupsi dan kolusi, berarti puasa yang
dilakukan masih jauh dari perefleksian tujuan shaum.
Maka benarlah simakan dari ungkapan seorang pelajar bijak,
Muhamad Wahid bin Raden Moch bin Kiyai Nadjmuddin bin Romo Pengulu Khaedar
“Selama puasa Ramadhan STOP maksiat, setelah Ramadhan LANJUTin lagi.. stop-nya!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar